Hukum di negara kami menyampaikan bila yang memiliki tempat tinggal dapat tentukan untuk peroleh ganti rugi berupa uang atau satu rumah yang ukurannya lebih kecil dari tempat tinggal terlebih dulu.
Ibu tentukan untuk mengambil uang ganti rugi karena beliau berkata apabila tempat tinggal barunya sangat kecil, tempat tinggal itu akan tidak bisa ditempati setelah saya menikah. Karena itu ibu mengambil uang ganti ruginya dan memutuskan untuk keluarkan uang itu sebagai sedikit modal saat saya dan suamiku nanti beli sebuah rumah.
Selanjutnya saya berteman dengan seorang pria yang cukup kaya. Di saat awal kami berpacaran, orang-tua dari pacarku ini menganggapku rendah. Mereka senantiasa berpikiran rendah keluarga kami dan menyulitkan pernikahan saya dan suamiku sampai sehari ibu berkata kalau beliau bisa sediakan gaun pesta yang bernilai beberapa ratus juta.
Saat itu saya merasa ibu cukup cerdas untuk mengambil uang ganti rugi waktu rumah lama kami dibongkar. Namun suamiku kurang setuju ibu hidup tinggal dengan kami. Saya lalu menjelaskan pada suamiku bila ibu nanti bisa membantu keluarga kami melindungi anak, memelihara
rumah, dan yang lain waktu kami pergi bekerja. Suamiku juga pada akhirnya menyetujuinya dengan berat hati.
Tetapi saya tidak pernah menduga apabila suamiku selanjutnya memperl4kukan ibu seperti pembantu. Seringkali dia berlaku kurang aj4r pada ibu. Lihat hal semacam ini, saya marah besar. Berkali kali saya menyapa suamiku untuk berlaku sedikit lebih baik pada ibu, tetapi ia tidak ingin mendengar. Selanjutnya sikap suamiku padaku juga mulai berubah. Cara bicaranya jadi lebih k4s4r. Saat ini, saya telah m3ng4nd'u'ng lebih dari 1 bulan…
Saya tidak mau anakku dari sejak kecil hidup di keluarga single parent, karenanya saya tetaplah bertahan akan k3kej4m4n suamiku. Tetapi suamiku tetaplah saja tidak sadar apabila saya sudah bertahan demikian lama dan tetaplah berlaku j4h4t pada ibu. Selanjutnya saya berkata, " Biarkanlah ibu kerjakan apa yang dia ingin! Apabila tidak saya dan ibu akan keluar dari rumah ini! "
Untuk saya dan anakku, saya selanjutnya menjelaskan keadaanku pada ibu. Waktu itu ibu tidak berkata apapun, mengambil beberapa lembar baju sembari menangis dan meninggalkan rumah kami. Setelah ibu pergi, saya merasa demikian sedih dan selanjutnya disuatu hari, saya m3mbun'tut!
ibu dari belakang dan merasakan apabila hingga saat ini ibu bekerja sebagai pembantu di rumah orang lain. Merasakan fakta ini, saya merasa mungkin saja kehidupan ibu akan sedikit lebih baik dibanding apabila ibu ada di rumah.
Saya menghibur diriku sendiri, tetapi tetap masih tidak berani menghubungi beliau…
Pernikahanku ini selanjutnya tidak membuat perlindungan ibu dan hanya bikin beliau menanggung derita. Di usia putriku yang ke-2, Saya temukan suamiku membawa wanita lain masuk dalam rumah dan mengusirku keluar.
Satu satunya yang bisa kubawa hanya putriku… Saya membawa putriku jalan diatas jalan yang sepi tanpa tahu apa yang perlu kulakukan… Selanjutnya saya teringat ibu. Tetapi saya tidak berani bertemu dengan beliau. Saya juga mencari satu hotel untuk berteduh. Sehari waktu saya menggendong putriku keluar dari hotel itu, tiba tiba saya lihat ibu tengah berdiskusi serius dengan seseorang.
Melihatku, ibu lari mendatanggiku sambil menangis, " Pada akhirnya saya menemukanmu! "
Saya ajukan pertanyaan pada ibu, bagaimana beliau bisa tahu saya bercer4i dengan mantan suamiku dan ibu menjawab, " Kamu ini… Kamu fikir setelah saya keluar dari rumahmu, saya tidak peduli dengan kehidupanmu? Setiap beberapa hari saya mengambil kesempatan untuk pergi ke dekat rumahmu untuk lihat kondisimu, bertanyatanya pada tetangga akan kondisimu, khawatir kamu kenapa kenapa.
Sudah janganlah nangis lagi! Saya akan membantumu membuat perlindungan cucuku ini. " Saya menangis tanpa mampu berkata kata, mem3luk ibu dan putri kecilku. Selanjutnya dalam keadaan apapun, kami tidak akan pernah terpisahkan lagi!